Burkini dan Paradoks Liberalisme

Laizzes-faire? non.

Anda ingat kasus burkini, kan? Ya, belum lama ini, polisi Prancis memaksa seorang muslimah pemakai burkini (berasal dari kata burka dan bikini; pakaian renang tertutup) melepas bajunya di tepi pantai.

Kasus itu menunjukkan betapa liberalisme terkadang tak bisa setia dengan prinsip dasarnya sendiri: laizzes faire, let it go, biarin aja, nape! Prinsip itu memang sebenarnya ditujukan pada bidang ekonomi, biarkan setiap orang mengupayakan ikhtiar ekonomi terbaik bagi kepentingan masing-masing. Negara tak usahlah ikut campur. Nanti, dengan bantuan kemagisan gaib  (invisible hand), kumulasi dari semua itu akan membawa pada keuntungan bersama.

Tapi yang kita saksikan, liberalisme tak berhenti di situ karena memang kehidupan sosial adalah sebuah jalinan yang saling berkelindan. Ia meresap ke dalam aspek kehidupan lain. Termasuk politik dan kebijakan publik. Di sini, liberalisme yang pada dasarnya ingin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu sebagai person(a), kadangkala tak bisa menghindar dari tindakan represif.

Contohnya kasus burkini ini. Liberalisme melarang burkini karena ia dianggap sebagai represi budaya tertentu terhadap sang muslimah. Karena itu sang muslimah harus diselamatkan kebebasan individualnya, ia harus melepas kekangan budaya dalam bentuk pakaian itu. Sampai di sini, liberalisme terlihat unyu-unyu sekali.

Masalahnya, bagaimana jika muslimah itu mengenakan burkini bukan lantaran kekangan budaya seperti praduga liberalis, tetapi sebagai pilihan individu secara sadar? Bukankah tindakan polisi itu justru menindas kebebasan sang muslimah?

Mari kita bertanya lebih jauh, jika berburkini adalah kekangan budaya, apakah mereka yang mengenakan bikini benar-benar terinspirasi dari suara hati sendiri. Bukan lantaran bentuk tekanan budaya baru bernama fashion?

Bagi Foucault, tak ada yang berubah dari peradaban manusia. Kita beralih dari satu hegemoni kuasa ke dalam hegemoni yang lain. Selalu ada struktur kuasa yang menguasai umat manusia, hanya pola-polanya saja yang bertransformasi. Orang-orang “modern” mungkin menyebut raja-raja, kepala suku/adat, ulama sebagai institusi sosial yang melakukan tekanan represif. Tetapi apakah propaganda media: gambar-gambar bilboard, iklan televisi, branding, diskon-diskon bukan mekanisme yang juga mengekang kebebasan manusia?

Tinggalkan komentar